Politisasi Agama dan Pengajian Politik


Saat kesadaran umat muslim terhadap politik semakin meningkat. Semakin meningkat pula segala upaya untuk meredamnya. Apalagi para pengamat politik mengatakan saat pertarungan Politik di tahun 2019 salah satu kandidatnya dianggap bermasalah dengan kedekatannya dengan umat Islam. Hal itu diperparah dengan semakin banyaknya kemunculan serangan isu kriminalisasi ulama, isu komunis, pembunuhan dan penganiayaan ulama dan ustadz, Perpu Ormas dan berbagai isu yang berkaitan dengan agama lainnya meningkat. Isu tersebut ternyata semakin lama memperburuk citra kandidat politisi tersebut di mata umat muslim. Beberapa pengamat berspekulasi, berbagai kondisi tersebut membuat upaya pengajian politik Islam di berbagai masjid yang sesang berkembang pesat mulai dihantam kanan dan kiri dengan isu sekuler, politisasi Islam dan termasuk antipolitisasi masjid.

Masyarakat harus memahami dan memaknai dengan cermat saat pernyataan ‘jangan politisasi agama. Sebaliknya bila ada kelompok lainnya yang mengatakan ‘kita harus menggunakan agama dalam berpolitik’. Pemimpin negeri, elit politik dan rakyat yang harus memiliki kesepahaman yang sama terkait maksud dari definisi pernyataan tersebut. Untuk lebih memahami itu sebaiknya juga harus dipahami apa itu definisi kampanye politik atau pengajian politik.

Politisasi agama adalah politik manipulasi mengenai pemahaman dan pengetahuan keagamaan, kepercayaan dengan menggunakan cara propaganda, Indoktrinasi, kampanye, disebarluaskan, sosialisasi dalam wilayah publik dilaporkan atau diinterpretasikan agar terjadi migrasi pemahaman, permasalahan dan menjadikannya seolah-olah merupakan pengetahuan keagamaan/kepercayaan, kemudian, dilakukan tekanan untuk memengaruhi konsensus keagamaan/kepercayaan dalam upaya memasukan kepentingan sesuatu kedalam sebuah agenda politik pemanipulasian masyarakat atau kebijakan publik. Melihat pemahaman politisasi agama tersebut maka bisa saja berkonotasi negatif dan bisa juga berarti positif tergantung niat, tujuan dan caranya.

Politisasi agama belakangan dinilai sebagai sesuatu yang negatif. Bila politisasi agama dilakukan dengan niat baik dan tidak melanggar hukum maka adalah sesuatu yang positif. Bahkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD justru menilai politisasi agama sebagai hal positif, asalkan bertujuan membangun bangsa. Dia mencontohkan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan pendiri Nahdlatul Ulama (NU), KH Hasyim Asy’ari, justru menggunakan kekuatan agama untuk kepentingan politik. Politisasi agama juga berkonotasi negatif bila simbol agama dan panutan agama seperti ayat-ayat kitab suci dan tokoh ulama banyak disalahgunakan hanya untuk kepentingan pribadi dalam meraih kekuasaan sesaat.

Politisasi agama berkonotasi negatif bila bertujuan untuk kepentingan pribadi. Misalnya bila calon Pemimpin Daerah atau Capres melakukan kunjungan atau mengundang ulama dengan niat agar dianggap dekat dengan umat muslim atau untuk agar dapat meraih suara dalam pemilu adalah berkonotasi negatif. Sehingga saat Jokowi, Syaifullah Yusuf atau Kofifah Indarparawansa mendekati ulama apakah politisasi agama yang buruk atau baik. Sulit untuk menilai, karena untuk menilai niat tidaklah mudah. Tetapi rakyat akan menilai. Saat sebelumnya jarang bertemu ulama, jarang menjadi imam shalat, atau jarang ke mesjid.

Tetapi saat mendekati pilkada atau Pilpres jadi lebih sering. Tetapi saat melakukan politisasi agama yang positif sebaiknya harus didukung. Tetapi saat melakukan politisasi agama yang berkonotasi negatif tidak ada yang berhak melarang karena tidak melanggar hukum atau aturan apapun. Politisasi agama yang berkonotasi negatif hanya melanggar etika dan syariat agama. “Mereka menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan. (QS at-Taubah [9]: 9).

Surat at-Taubah (9) ayat 9 ini merupakan gambaran kaum Musyrik, yang biasa menukar ayat-ayat Allah Swt. dengan harga yang rendah. Mereka memutarbalikkan ayat-ayat tersebut hanya untuk mendapatkan kepentingan dunia, baik berupa kekuasaan, kepemimpinan, maupun harta dengan cara menghalangi manusia untuk beriman sehingga loyalitasnya tetap untuk mereka. Sekalipun obyek ayat ini adalah kaum Musyrik, adanya penyifatan, “Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan,”menunjukkan bahwa siapapun orang yang melakukan perbuatan tersebut berarti melakukan perbuatan paling buruk, yang tentu saja diharamkan.

Demikian pula politisasi agama dalam masjid tidak ada undang undang dan hukum manusia yang di langgar. Sehingga tidak seseorangpun berhak melarangnya. Seperti halnya orang tidak berhak melarang Jokowi dan para calon Gubernur yang tampak lebih sering bertemu ulama, sering bersedekah uang dan sembako pada umat miskin di jalanan, lebih sering ke mesjid atau lebih sering menjadi imam shalat hanya saat menjelang tahun politik saja. Meskipun hal itu dibantah para pendukungnya bahwa itu sudah sering dilakukan para politisi itu sejak dulu.

Bila politisasi agama dalam tujuan positif bukan demi kepentingan pribadi atau kelompok, tetapi demi kepentingan bangsa dan agama maka aktifitas politik itu yang harus didukung dan diteladani.

Politisasi agama menjadi masalah atau berkonotasi negatif selain demi kepentingan pribadi bila melanggar hukum dan etika. Politisasi agama bila dilakukan dengan cara kasar, menjelek jelekan pihak lain, fitnah dan mengeluarkan berita bohong maka dapat melanggar etika dan hukum. Politisasi agama di masjid akan melanggar hukum bila berdakwah yang masuk kriteria kampanye. Politisasi agama bila mengandung kampanye seperti yang dimaksud dalam pasal 1, ketentuan umum UU nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Yaitu kegiatan untuk meyakinkan pemilih dengan menyampaikan misi, visi dan program calon. Kampanye politik didalam masjid adalah ceramah atau pidato di depan masjid dengan menjelaskan visi, misi dan program parpol atau calon pemimpin pildada dan pilpres. Kampanye politik bila menyerukan nama seseorang berulang ulang untuk dipilih di pemilu.

Gerakan Anti Politisasi Agama

Relawan Jokowi saat itu menggagas program untuk mengembalikan fungsi masjid sebagai tempat ibadah. Uniknya para relawan yang meneriakkan program antipolitisasi masjid itu sebagian adalah relawan yang bukan beragama Islam. Sebaiknya sebelum terjun ke politik praktis trsebut mereka yang non muslim tersebut mungkin harus belajar intoleransi yang sebenarnya. Padahal berceramah politik di masjid tidak melanggar undang undang. Kecuali kalau memang berkampanye di masjid dilarang undang undang.

Ketika mereka selalu meneriakkan anti Pancasila dan intoleransi mereka sendiri yang selalu memulai gerakan intoleransi untuk mencampuri urusan agama lainnya. Padahal politik dan agama di negara Pancasila tidak bisa dipisahkan. Hal ini menjadi kontroversial karena sebagian musuh Islam takut dengan kebangkitan dan kebersatuan umat Muslim di Indomesia dalam berpolitik sehingga mereka meriakkan politik harus dipisah dari agama. Umat muslim sebaiknya harus merujuk pada fatwa MUI bahwa paham sekuler diharamkan agama.

Kelompok pendukung Jokowi yang melakukan gerakan antipolitisasi agama itu ingin mencontohkan para ustad dan takmir agar berbicara mengenai Islam yang benar. Ketika mereka mulai menggugat substansi ceramah ulama dan para ustadz yang bukan wewenangnya, mulailah perseteruan itu menggoyang emosi umat yang selalu dipaksa untuk bersabar.

Jangankan orang awam atau politisi, Komisi dakwah MUI Pusat pernah mengkritisi rencana Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang akan mengeluarkan aturan soal materi khotbah untuk dijadikan referensi bagi para tokoh agama di masa kampanye Pilkada 2018. Ketua Komisi Dakwah MUI Pusat, Cholil Nafis menyatakan bahwa rencana tersebut sia-sia saja.

Menurut Cholil siapa pun tak bisa mengatur materi khutbah dan ceramah. Jangankan Bawaslu, Menteri Agama (Menag) atau Presidenpun juga tidak bisa. Selain itu Cholil juga mempertanyakan metode pengaturan isi khotbah dan ceramah. Sebab, pemerintah selama ini tidak memiliki prosedur mengangkat khotib. Sehingga mustahil pemerintah bisa mengatur materi khutbah dan ceramah.

Pengajian Politik Yang Ideal

Memasuki tahun politik ini kondisi psikologis masyarakat Indonesia sangat sensitif. Ketika aktifitas politik itu memakai istilah Antipolitisasi Agama, Kampanye Politik dan Pengajian Politik di Masjid yang menyinggung pihak lain maka perdebatan panjang dan perseteruan emosi akan terjadi. Apalagi kepentingan yang didominasi politik itu menyinggung keyakinan agama maka sensitifitas rasionalitas umat akan bergolak kencang. Akan lebih runyam lagi saat umat yang bukan agamanya ikut mengurus keyakinan dan ibadah umat lainnya.

Sehingga untuk menjaga kedamaian dan persatuan sebaiknya bila bukan agamanya jangan mencampuri agama lainnya. Agar tidak terjadi ketegangan antar umat masyarakat juga harus menyamakan persepsi dan memahami dengan baik definisi yang sama apakah pengertian Politisasi Agama, Kampanye Politik dan Pengajian Politik di Masjid .

Sehingga idealnya pengajian politik memang harus dihindari saat melangggar etika dan hukum. Untuk menghindari pelanggaran etika dapat dicegah dalam menyerukan kehidupan politik tidak harus dengan menyebat fitnah, menjelek jelekan dan kata kata kasar. Kalau dengan menyerukan pesan ayat Quran dengan suara keras tetapi tidak kasar seharusnya tidak masalah bagi umat di seluruh Indonesia.

Untuk mencegah pelanggaran hukum harus merujuk pada aturan KPU yang dilarang kampanye dalam masjid. Bila pengajian politik Islam itu tidak ada pelanggaran etika dan pelanggaran hukum maka tidak ada yang bisa melarang ulama dan para ustadz untuk berceramah politik di masjid. Karena itu adalah hak umat muslim dalam kehidupan beragama dan beribadah.

Maraknya kebangkitan maraknya pengajian politik di masjid dan kepedulian terhadap politik salah satunya terinspirasi guru Erdogan mantan Perdana Menteri Turki Necmettin Erbakan yang mengatakan: “Muslim yang tidak pedulikan politik akan dipimpin oleh poliitikus yang tidak pedulikan orang Islam.” Umat muslim juga terinspirasi penyair Jerman Bertolt Brecht, yang mengatakan: “Buta yang terburuk adalah BUTA POLITIK. Dia tidak mendengar, tidak berbicara dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik.

Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga kacang, harga ikan, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, dll semua tergantung pada KEPUTUSAN POLITIK. Orang yang BUTA POLITIK begitu bodoh sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya mengatakan bahwa ia membenci politik.

Dungu ini tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasinal.”Pengajian politik Islam di masjid tampaknya tidak akan yang bisa melarang karena tidak melanggar etika dan aturan hukum apapun. Pengajian politik di Masjid akan merubah wawasan pola pikir umat muslim yang sudah terlanjur membenci politik dan terlanjur terkecoh oleh oknum politikus yang tidak pedulikan Islam.  (Jurnal Politik)

BhayangkaraNews.Net

Baca Juga

Terima kasih anda sudah membaca artikel Politisasi Agama dan Pengajian Politik

Posting Komentar

0 Komentar